DNA Journey: Masihkah Kita Berperilaku Rasis Setelah Mengetahui Siapa Diri Kita Sebenarnya?

Blogwalking saya minggu lalu membuat saya “tersasar” di video youtube ini. Video berdurasi 5 menit-an ini membawa permenungan bagi saya akan apa yang sedang terjadi di negara kita saat ini.

Video ini membawa pesan akan perbedaan termasuk rasialisme. Menurut kbbi.web.id, rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Di video tersebut terdapat beberapa orang yang diajak untuk mengikuti tes DNA Journey untuk melihat sejatinya mereka berasa dari Negara/suku mana.

Berdasarkan penjelasan dari video tersebut, DNA didapatkan dari kedua orang tua, di mana kedua orang tua kita juga mendapatkan DNA dari orang tuanya, dan begitu seterusnya. Yang menarik adalah banyak di antara mereka yang kaget dengan hasil tes tersebut.

Ada seorang yang sangat bangga berasal dari Inggris, tetapi sangat membenci Jerman. Tak disangka di DNA nya terdapat Jerman di dalamnya. Ada yang sangat yakin berasal 100% dari Islandia dan menganggap Negaranya lah yang paling hebat dibandingkan dengan Negara lain, tetapi ternyata Ia memiliki DNA gabungan Eropa Timur, Spanyol, Portugal, Italia, hingga Yunani. Ada yang membenci Turki (pemerintahan), tetapi ternyata memiliki DNA Turki, dan lain sebagainya (ada beberapa video lainnya yang memuat tiap individu yang dites). Mereka tertegun sembari berpikir, “bagaimana mungkin Saya membenci Negara yang merupakan bagian dari diri Saya sendiri?”

Baca Juga 7 Insights tentang Perbedaan dari Film Kontroversial ‘PK’

Kembali lagi ke konteks Negara kita. Ketika kita mengatakan “Saya asli Jawa”, “Saya dari Papua”, “Saya murni Batak”, “Saya keturunan Cina”, apakah kita yakin bahwa kita 100% berasal dari daerah tersebut? Seperti yang diterangkan di atas, DNA didapatkan dari kedua orang tua, di mana kedua orang tua kita juga mendapatkan DNA dari orang tuanya, dan begitu seterusnya. Dengan latar belakang sejarah di mana Indonesia pernah dijajah oleh beberapa Negara ratusan tahun lamanya, ditambah dengan keanekaragaman suku yang ada, tentu generasi saat ini “hampir dapat dipastikan” kita memiliki DNA yang berkombinasi.

Mengambil contoh yang ekstrem. Jika Saya mengejek teman dari suku tertentu, apakah Saya yakin bahwa di dalam DNA saya tidak terdapat suku yang sedang Saya ejek? Atau jangan-jangan, Saya sedang mengejek suku saya sendiri?

Contoh ekstrem yang lain. Seandainya tes tersebut dapat mengcapture agama seseorang. Ternyata DNA saya mengatakan bahwa tidak 100% dari diri DNA Saya memeluk Agama yang Saya yakini saat ini (mungkin didapat dari kakek, atau kakeknya kakek, atau kakeknya kakeknya kakek, who knows?). Jangan-jangan Agama orang lain yang selama ini Saya anggap salah (dan mungkin Saya ejek), justru berada di dalam DNA Saya…

Postingan video tersebut menjadi viral tahun lalu, hanya saja baru Saya lihat tahun ini. Terlepas dari apakah video tersebut hanya iklan (dibuat-buat) atau 100% asli, video tersebut mengajarkan kita untuk tidak menjadi seorang yang rasis, karena pada dasarnya kita adalah manusia yang beragam baik dari Negara, suku, budaya, hingga Agama. Toh pada intinya adalah saling menghargai. Bersyukurlah kita mengenal semboyan “Bhinneka Tuggal Ika“. Let’s kick rasicm out of the world!

Sebagai sarana menegur diri.

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral

*bagi yang ingin nonton dengan subtitle, silahkan ke sini

Baca Juga 7 Insights tentang Perbedaan dari Film Kontroversial ‘PK’

Baca Juga Belajar Toleransi dari Google

Baca Juga Jika Kamu Memenangi Oscar, Apa Isi Pidatomu?

*sumber foto: AmericanExpress

 

Jadi Bintang Iklan Kantor!

Selamat Hari Senin!

Sekali-kali jadi bintang iklan kantor gpp lah ya 🙂

“Karena cinta butuh tindakan nyata”
(Manulife)

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca Juga Memetik Inspirasi dari Rudy Habibie

Baca Juga Introducing: Grace Card

Baca Juga Katakan dengan Surat Cinta

Belajar Toleransi dari Google

6 Juni yang lalu saya melihat beberapa teman di facebook share sebuah video yang merupakan short film dari Google. Makna film yang kental dengan keanekaragaman yang ada di Indonesia membuat video ini cepat menjadi viral. Salut untuk Google yang telah mengangkat tema ini. Walaupun kantor pusatnya nan jauh di sana, short film ini membuktikan bahwa Google mengetahui tema yang pas untuk dibawa “ber-iklan” di Indonesia. 🙂

Short film yang berisikan 3 orang sahabat ini berceritakan mengenai ambisi mereka menjadi sebuah band sukses. Berawal dari itu, mereka diundang untuk ke Bali menghadiri audisi, tetapi awal audisi tersebut justru bentrok dengan hari pertama puasa. Salah satu dari mereka beragama muslim dan biasa menghabiskan hari pertama puasa dengan keluarga. Di sinilah keunikan short film ini. 2 orang sahabatnya yang lain justru ikut berpuasa untuk menghormati teman Muslimnya yang sedang berpuasa. “Kan biasanya puasa pertama bersama keluarga”, ucap temannya. 🙂

Saya teringat beberapa tahun yang lalu saya juga pernah jadi “ikutan puasa” karena memang sedang bersama dengan lingkungan dan teman-teman yang berpuasa. Bukan sekali dua kali, tetapi beberapa kali. Bahkan pernah sampai seminggu! 😀 Pada awalnya emang lelah, tetapi begitu dijalanin ternyata jadi asyik. Hal kebalikannya dilakukan oleh seorang teman saya. Ia sengaja tidak mengajak saya untuk makan daging pada hari Jumat ketika giliran saya yang diharuskan berpantang dan berpuasa menurut ajaran agama saya. Indah kan?

Bukankah memang tugas kita untuk tetap memunculkan semboyan yang kita banggakan, “Bhinneka Tunggal Ika“? Jika masih sering ribut dengan mengatasnamakan agama, bagaimana kita bisa menjadi satu? Bukankah lebih indah jika saling menghormati dan menghargai?

Perbedaan itu bukan halangan dalam mengejar mimpi, karena semua perbedaan bisa diulik agar semua saling mengerti.
(Google short movie)

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca Juga Inspirasi dari Seorang Muhammad Ali

Baca Juga Kebanyakan dari Kita itu “Lucu”

Baca Juga Perbedaan itu Indah

Experiential Learning (2)

Siang ini saya menemukan satu video iklan yang di share oleh teman di facebook. Iklan ini akan sangat menginspirasi jika kita berhasil mengambil maknanya. Iklan dari Thailand ini mengambil tema Learning by doing and not teaching, sehingga mengambarkan jelas salah satu metode belajar yang efektif, yaitu Experiential Learning (EL). Bagi yang baru pertama kali berkenalan dengan EL, saya sudah pernah membahas EL di SINI.

Video tersebut menggambarkan seorang anak yang tekun dalam belajar melalui pengalaman yang ia alami. Ia mencoba terlebih dahulu, gagal, coba lagi, hingga ia menemukan solusinya.

Berikut videonya:

Tell me and I will forget, Show me and I may remember, Involve me and I will understand…
(Benjamin Franklin)

Semoga bermanfaat.

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral