Beberapa bulan belakangan ini saya sedang kembali mendalami coaching. Mulai dari membuka kembali materi Certified Professional Coach, mendaftarkan diri untuk ikut sertifikasi Certified Executive Coach, membeli buku coaching, menonton video-video tentang coaching hingga menambah coaching hours dengan praktek melakukan coaching.
Dalam proses pendalaman tersebut, saya bertemu dengan Michael Bungay Stanier (MBS), seorang coach dan penulis buku. Mulai dari bukunya Coaching Habit hingga presentasinya di TedEx saya ikuti dan pelajari. Salah satu learning moment saya adalah ketima MBS memperkenalkan istilah Advice Monster.
Lantas apa itu Advice Monster? Yang saya tangkap, advice monster adalah sebuah dorongan dari dalam diri kita untuk memberikan advice/saran kepada orang lain. Semakin besar hasrat untuk memberikan saran, maka semakin besar pula sang Advice Monster.
Menurut MBS, tidak ada yang salah dengan memberikan saran. Yang menjadi masalah adalah ketika memberikan saran adalah template/default dari diri kita.
Sebagai contoh seperti ini.
Ada seseorang yang datang kepada kita dan menceritakan masalahnya. Pada situasi tersebut sangatlah mundah bagi kita untuk tergoda memberikan saran untuk menyelesaikan masalahnya. Padahal kita tidak mengetahui full context dari masalah tersebut, siapa saja yang terlibat dalam masalahnya, apa yang sebenarnya menjadi challenge bagi orang tersebut, atau mungkin kita tidak punya kompetensi teknis untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ada 3 persona dari Advice Monster.
1. Tell it
Advice monster meyakinkan kita bahwa satu-satunya cara untuk dapat add value dalam sebuah percakapan adalah dengan memiliki jawaban atas sebuah challenge/masalah. Dan jawaban tersebut dalam bentuk saran yang kita berikan. If you don’t have the answers, you fail – Advice Monster.
2. Save it
Persona yang ini meyakinkan kita bahwa our job is to rescue everyone. Don’t let anybody stumble, struggle and have a difficult time. “Mari selamatkan mereka dengan saran-saran kita”, ucap Advice Monster.
3. Control it
Dengan mampu memberikan advice terus menerus, tanpa sadar kita diyakinkan bahwa kita mampu untuk mengontrol orang lain. Itulah persona ketiga dari advice monster. When advice monster is in control, we are saying that we are that than the other person. They are not good enough, so they need our advice.
Dengan persona-persona tersebut, tidak heran jika memberikan advice menjadi salah satu “kegiatan favorit” kita. Padahal di sisi lain ada 3 hal yang menjadi jebakan jika kita rajin memberikan advice.
1. We are busy solving the wrong problem
Seringkali kita terjebak bahwa masalah yang diceritakan oleh orang lain adalah the real problem yang harus disolve. Menurut MBS, masalah pertama yang terlihat hanyalah permukaan saja. Dan ketika kita langsung memberikan saran, maka saran kita tidak tepat sasaran. It’s very rare that the first challenge is really the real challenge.
2. Our advice is not really as good as we think it is
Jebakan berikutnya adalah cognitive bias. Kita percaya bahwa suatu tindakan tertentu (berupa saran kita) dapat menyelesaikan masalah orang tersebut. Kita memberikan saran berdasarkan pengalaman kita yang belum tentu valid kebenarannya. Mungkin valid bagi kita, tapi belum tentu valid bagi orang lain.
3. We’re constantly giving the message that people can’t figure out the challenge by themselves
Jebakan ini akan sangat berdampak bagi para people leader. Dengan rajin memberikan advise, kita menunjukkan bahwa tim kita tidak sanggup untuk menyelesaikan masalah mereka. Dalam jangka panjang, maka mereka akan sangat bergantung pada sang leader. Kompetensi dan rasa percaya diri tim akan berkurang karena merasa ada leader yang mampu untuk mencarikan solusi untuk setiap masalah yang mereka alami.
Lantas, bagaimana cara menaklukan advice monster?
Resep sederhana dari MBS adalah: Stay Curious a Little Bit Longer. Apa maksudnya?
Ketika ada seseorang datang dan bercerita masalahnya kepada kita, yang perlu kita lakukan adalah mengajukan pertanyaan dengan curious-mindset. Berikut adalah 5 pertanyaan yang dapat kita gunakan sebagia panduan.
1. What’s on your mind?
Pertanyaan ini sangat powerful agar kita terhindar dari “small talk” dan langsung menuju pada “what matters”.
2. What’s the real challenge here for you?
Dengan mengajukan pertanyaan ini, kita mencoba untuk menggali sebenarnya apa masalah yang sedang dihadapi oleh orang tersebut.
3. And what else?
Ingat, masalah pertama yang diceritakan biasanya bukanlah the real challenge. Dengan pertanyaan ini, kita coba menggali apakah ada challenge lain yang sebenarnya ada di pikirannya. Ini mampu membuka mata kita mengenai full context dari masalahnya, siapa saja yang dealing dengan orang tersebut, dll.
Setelah pertanyaan nomor 2, kita bisa kembali lagi ke pertanyaan nomor 1 untuk benar-benar mencari tahu apa yang menjadi challenge, lalu kembali lagi ke pertanyaan nomor 2. Setelah beberapa kali bolak-balik pertanyaan 1 dan 2, kita bisa pindah ke pertanyaan nomor 3.
4. What do you want?
Pertanyaan ini untuk menggali bahwa memang benar sedang ada challenge yang dihadapi, tapi sebenarnya apa yang dia inginkan. Apa goal yang ingin dia capai tetapi belum bisa berhasil karena ada challenge tersebut.
5. If you’re saying YES to “this”, what are you saying NO to?
Ini adalah sebuah common knowledge tapi bukan common practice. Untuk mendapatkan sesuatu, maka ada sesuatu juga yang kita korbankan. Misal: ingin badan sehat, maka kita harus “rela berkorban” tenaga untuk berolahraga. Atau rela berkorban tidak makan-makanan berminyak. Hal ini sama dengan mengajukan pertanyaan nomor 4 ini. Pertanyaan ini membantu orang yang memiliki masalah untuk melihat apa yang bersedia dia korbankan untuk meraih “goal” yang dia inginkan (refer ke jawaban nomor 3).
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, secara tidak langsung advice monster yang awalnya ingin membuka mulut dan memberikan saran, menjadi lebih tenang dan kalem a.k.a jinak. Kita dapat lebih fokus untuk mendengar apa yang sebenarnya menjadi masalah, apa yang menjadi goal, dan apa yang akan dikorbankan untuk mencapai goal tersebut.
Yup itulah perkenalan kita dengan advice monster. Mulai dari personanya, jebakannya, hingga cara menjinakkannya. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan advice-giving. Ketika advice-giving menjadi template default kita, maka itulah masalahnya.
Selamat mencoba dan selamat memulai proses menjinakkan advice monster!
By stay curious a little bit longer, it helps us to find the really important issue. Not to provide the fast wrong answer.
(Michael Bungay Stanier)
Baca juga Menikmati Ketidaktahuan
Baca juga Maxwell Daily Reader: Listening
Baca juga Leaders Put the Emphasis on Intangible
Pict source: here