Being a Better Person

Siang kemarin dalam sebuah sesi coaching, coachee mengajukan pertanyaan “apa sih yang membuat kak Waldo mau melakukan sesi coaching gratis ini? Bukankah menjadi burden mendengar masalah-masalah setiap coachee?”

Saya mengambil nafas sebentar. Saya jawab dengan 2 jawaban.

  1. Untuk karir saya sekarang, saya dibantu oleh seorang mentor & coach bernama (alm) Bang Karol (BK).

    Dalam kegalauan menjadi mahasiswa jurusan akuntansi belasan tahun lalu, saya sempat curhat kepada BK. Harus saya akui saya adalah mahasiswa salah jurusan. Tapi, dia lah yang membuka mata saya terhadap dunia HR. Karena dia cukup kenal dekat dengan saya, dia bilang “Ada pekerjaan namanya HR. Kayaknya lo cocok di bidang training and development”.

    Sejak pertemuan itu, saya di-guide oleh BK untuk memiliki karir sebagai seorang HR. Dia yang menunjukkan materi dan pelatihan apa saja yang perlu saya ikuti untuk menjadi seorang HR professional.

    Saya percaya ada banyak orang muda di luar sana yang memiliki “kasus” seperti Waldo belasan tahun lalu. Tidak tahu mau kemana di masa depan. Tidak passion dengan jurusan kuliahnya, dsb. Saya ingin “pay it forward” kebaikan yang dilakukan Bang Karol kepada lebih banyak orang, agar tidak ada lagi waldo-waldo lain yang tersesat seperti saya belasan tahun lalu.

  2. Sebagai penggugur dosa. Ingin menjadi orang yang lebih baik lagi (better person).

    Alasan kedua saya adalah alasan klasik dan klise. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita adalah manusia yang memiliki banyak dosa. Kalau dalam laporan keuangan, mungkin saya sudah defisit karena terlalu banyak dosa. Pertanyaannya adalah apa yang saya dapat lakukan agar “laporan keuangan akhirat” saya bisa balance atau bahkan surplus? Maka mau tidak mau harus menambah pahala. Saya berharap dengan berbagi dan meng-coaching orang-orang muda ini, maka saya bisa menumpuk lebih banyak pahala sebagai penyeimbang dosa-dosa yang saya lakukan sebelumnya.

Selesai saya menutup sesi coaching, datang 1 WA dari seseorang yang meminta di-coaching juga. Ia bertanya “berapa harga untuk melakukan coachingnya?”. Saya tersentak. Tidak pernah mematok harga untuk sesi coaching. Tiba-tiba terbersit pikiran, “biayanya adalah berdonasi di kitabisa.com. Pilih kegiatan apapun yang mau disumbang. Berapapun sumbangannya saya tidak peduli dan tidak perlu juga memberikan bukti transfer sumbangannya. Saya percaya saja”. Yup, saya menemukan lagi another way untuk penggugur dosa.

Setiap orang suci punya masa lalu. Setiap pendosa punya masa depan. Who am I to judge?
(Unknown)

Salam Damai,
Ewaldo Amaral

Baca juga To Improve. Not to Prove

Baca juga What’s the Meaning of Challenge?

Baca juga Menikmati Kepahitan

To Improve. Not to Prove

Beberapa bulan terakhir banyak saya habiskan dengan melakukan coaching kepada banyak anak muda. Range nya mulai dari mahasiswa hingga mereka professional di early-career. Topiknya pun beragam. Mulai dari time management, quarter life crisis, individual development plan, hingga career planning and consultation.

Menariknya saya menemukan sebuah benang merah. Dengan jiwa anak muda yang tinggi, mayoritas mereka memiliki mindset untuk membuktikan bahwa mereka mampu dan bisa. Over glorify media terhadap kesuksesan di usia muda, dalam hipotesis saya, menjadi penyebabnya.

Simak saja apa yang ditulis di media. Forbes 30 under 30, Seorang Anak Muda Mampu Menghasilkan 1 Miliar Pertamanya, Berhasil dalam Bisnis di Usia Muda, dll. Hal tersebut mendorong anak muda untuk mendapatkan kesuksesan sedini mungkin. Tidak salah memang. Tapi jika ini menjadi patokan, dalam jangka panjang menjadikan target ini menjadi tidak sehat.

Perlu dipahami bahwa garis start setiap orang berbeda-beda. Ada yang sedari lahir sudah memiliki akses yang berlimpah ruah. Ada juga yang dari lahir cukup struggle, bahkan untuk makan dan bayar biaya sekolah harus hutang sana sini. Perbedaan garis start ini yang jarang disorot oleh media dan oleh anak muda sekalipun.

Kita boleh bermimpi tinggi. Tapi itu bukan menjadi alasan untuk membuktikan diri. Tugas kita sederhana. Kita hanya perlu improve diri kita dari hari ke hari. Tidak ada orang lain yang menjadi alasan untuk pembuktian diri. Cukup improve diri sendiri saja. Living to improve, not to prove.

Kompetisi yang kita jalani cukup kompetisi dengan diri kita kemarin. Saya hari ini adalah saya yang sudah improve dibandingkan hari kemarin. Itu sudah cukup.

Pertanyaan refleksi untuk kita: what kind of improvement that i will do today?

Jika teman-teman ingin merasakan pengalaman sebuah sesi coaching, silahkan isi link berikut: bit.ly/daftarcoachingya. Saya akan kontak teman-teman dan arrange sebuah sesi virtual coaching. See you!

Baca juga Berkenalan dengan Advice Monster

Baca juga What’s the Meaning of Challenge?

Baca juga Becoming More Solution Oriented

Berkenalan dengan Advice Monster

How and Why to Tame Your 3 Advice Monsters | CU Management

Beberapa bulan belakangan ini saya sedang kembali mendalami coaching. Mulai dari membuka kembali materi Certified Professional Coach, mendaftarkan diri untuk ikut sertifikasi Certified Executive Coach, membeli buku coaching, menonton video-video tentang coaching hingga menambah coaching hours dengan praktek melakukan coaching.

Dalam proses pendalaman tersebut, saya bertemu dengan Michael Bungay Stanier (MBS), seorang coach dan penulis buku. Mulai dari bukunya Coaching Habit hingga presentasinya di TedEx saya ikuti dan pelajari. Salah satu learning moment saya adalah ketima MBS memperkenalkan istilah Advice Monster.

Lantas apa itu Advice Monster? Yang saya tangkap, advice monster adalah sebuah dorongan dari dalam diri kita untuk memberikan advice/saran kepada orang lain. Semakin besar hasrat untuk memberikan saran, maka semakin besar pula sang Advice Monster.

Menurut MBS, tidak ada yang salah dengan memberikan saran. Yang menjadi masalah adalah ketika memberikan saran adalah template/default dari diri kita.

Sebagai contoh seperti ini.

Ada seseorang yang datang kepada kita dan menceritakan masalahnya. Pada situasi tersebut sangatlah mundah bagi kita untuk tergoda memberikan saran untuk menyelesaikan masalahnya. Padahal kita tidak mengetahui full context dari masalah tersebut, siapa saja yang terlibat dalam masalahnya, apa yang sebenarnya menjadi challenge bagi orang tersebut, atau mungkin kita tidak punya kompetensi teknis untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Ada 3 persona dari Advice Monster.

1. Tell it

Advice monster meyakinkan kita bahwa satu-satunya cara untuk dapat add value dalam sebuah percakapan adalah dengan memiliki jawaban atas sebuah challenge/masalah. Dan jawaban tersebut dalam bentuk saran yang kita berikan. If you don’t have the answers, you fail – Advice Monster.

2. Save it

Persona yang ini meyakinkan kita bahwa our job is to rescue everyone. Don’t let anybody stumble, struggle and have a difficult time. “Mari selamatkan mereka dengan saran-saran kita”, ucap Advice Monster.

3. Control it

Dengan mampu memberikan advice terus menerus, tanpa sadar kita diyakinkan bahwa kita mampu untuk mengontrol orang lain. Itulah persona ketiga dari advice monster. When advice monster is in control, we are saying that we are that than the other person. They are not good enough, so they need our advice.

Dengan persona-persona tersebut, tidak heran jika memberikan advice menjadi salah satu “kegiatan favorit” kita. Padahal di sisi lain ada 3 hal yang menjadi jebakan jika kita rajin memberikan advice.

1. We are busy solving the wrong problem

Seringkali kita terjebak bahwa masalah yang diceritakan oleh orang lain adalah the real problem yang harus disolve. Menurut MBS, masalah pertama yang terlihat hanyalah permukaan saja. Dan ketika kita langsung memberikan saran, maka saran kita tidak tepat sasaran. It’s very rare that the first challenge is really the real challenge.

2. Our advice is not really as good as we think it is

Jebakan berikutnya adalah cognitive bias. Kita percaya bahwa suatu tindakan tertentu (berupa saran kita) dapat menyelesaikan masalah orang tersebut. Kita memberikan saran berdasarkan pengalaman kita yang belum tentu valid kebenarannya. Mungkin valid bagi kita, tapi belum tentu valid bagi orang lain.

3. We’re constantly giving the message that people can’t figure out the challenge by themselves

Jebakan ini akan sangat berdampak bagi para people leader. Dengan rajin memberikan advise, kita menunjukkan bahwa tim kita tidak sanggup untuk menyelesaikan masalah mereka. Dalam jangka panjang, maka mereka akan sangat bergantung pada sang leader. Kompetensi dan rasa percaya diri tim akan berkurang karena merasa ada leader yang mampu untuk mencarikan solusi untuk setiap masalah yang mereka alami.

Lantas, bagaimana cara menaklukan advice monster?

Resep sederhana dari MBS adalah: Stay Curious a Little Bit Longer. Apa maksudnya?

Ketika ada seseorang datang dan bercerita masalahnya kepada kita, yang perlu kita lakukan adalah mengajukan pertanyaan dengan curious-mindset. Berikut adalah 5 pertanyaan yang dapat kita gunakan sebagia panduan.

1. What’s on your mind?

Pertanyaan ini sangat powerful agar kita terhindar dari “small talk” dan langsung menuju pada “what matters”.

2. What’s the real challenge here for you?

Dengan mengajukan pertanyaan ini, kita mencoba untuk menggali sebenarnya apa masalah yang sedang dihadapi oleh orang tersebut.

3. And what else?

Ingat, masalah pertama yang diceritakan biasanya bukanlah the real challenge. Dengan pertanyaan ini, kita coba menggali apakah ada challenge lain yang sebenarnya ada di pikirannya. Ini mampu membuka mata kita mengenai full context dari masalahnya, siapa saja yang dealing dengan orang tersebut, dll.

Setelah pertanyaan nomor 2, kita bisa kembali lagi ke pertanyaan nomor 1 untuk benar-benar mencari tahu apa yang menjadi challenge, lalu kembali lagi ke pertanyaan nomor 2. Setelah beberapa kali bolak-balik pertanyaan 1 dan 2, kita bisa pindah ke pertanyaan nomor 3.

4. What do you want?

Pertanyaan ini untuk menggali bahwa memang benar sedang ada challenge yang dihadapi, tapi sebenarnya apa yang dia inginkan. Apa goal yang ingin dia capai tetapi belum bisa berhasil karena ada challenge tersebut.

5. If you’re saying YES to “this”, what are you saying NO to?

Ini adalah sebuah common knowledge tapi bukan common practice. Untuk mendapatkan sesuatu, maka ada sesuatu juga yang kita korbankan. Misal: ingin badan sehat, maka kita harus “rela berkorban” tenaga untuk berolahraga. Atau rela berkorban tidak makan-makanan berminyak. Hal ini sama dengan mengajukan pertanyaan nomor 4 ini. Pertanyaan ini membantu orang yang memiliki masalah untuk melihat apa yang bersedia dia korbankan untuk meraih “goal” yang dia inginkan (refer ke jawaban nomor 3).

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, secara tidak langsung advice monster yang awalnya ingin membuka mulut dan memberikan saran, menjadi lebih tenang dan kalem a.k.a jinak. Kita dapat lebih fokus untuk mendengar apa yang sebenarnya menjadi masalah, apa yang menjadi goal, dan apa yang akan dikorbankan untuk mencapai goal tersebut.

Yup itulah perkenalan kita dengan advice monster. Mulai dari personanya, jebakannya, hingga cara menjinakkannya. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan advice-giving. Ketika advice-giving menjadi template default kita, maka itulah masalahnya.

Selamat mencoba dan selamat memulai proses menjinakkan advice monster!

By stay curious a little bit longer, it helps us to find the really important issue. Not to provide the fast wrong answer.
(Michael Bungay Stanier)

Baca juga Menikmati Ketidaktahuan

Baca juga Maxwell Daily Reader: Listening

Baca juga Leaders Put the Emphasis on Intangible

Pict source: here

Introducing @youthdevelopment.id

Suatu hari saya teringat masa-masa galau ketika zaman kuliah dulu. Kuliah di bidang akuntansi yang awalnya terlihat menyenangkan, lama-lama menjadi menyebalkan. Di perkuliahan semester 4, saya menyadari saya salah jurusan! Kalau bahasa zaman now nya, accounting is not my passion. Tapi, sudah terlanjur kuliah tahun kedua, what should I do?

Lucky me, I found a coach yang secara bersamaan menjadi mentor saya juga. Ia adalah senior saya di Gereja. I met and told him mengenai cerita galau yang saya alami. That meeting was an eye-opening for me. Dan yang paling penting, dia memberikan guidance about life and career. Dari sejak itulah saya memutuskan untuk serius membangung portfolio di bidang HR dan bahkan bekerja di bidang HR.

Sehingga yang menarik adalah ketika di kampus, di saat teman-teman saya mengambil pelatihan mengenai akuntansi, bahkan sertifikasi pajak brevet A, B, dan C, saya mengambil pelatihan dan sertifikasi yang berkaitan dengan HR, seperti HR Management, Training Needs Analysis, hingga sertifikasi trainer. Dan sampai sekarang saya masih konsisten di bidang HR dengan pengalaman di beberapa industri seperti electrical manufacturing, financial services, and FMCG.

Itu semua bermula dari pertemuan saya dengan si senior tersebut. Jika tidak ada pertemuan itu, mungkin saya sedang murung dan tak bergairah bekerja di bidang accounting. Fiuh..

So, based on that experience, I realized that many of young people need that kind of help. They need coach or mentor to give guidance and help them.

Since I have a professional certification as a coach, I create @youthdevelopment.id (so far- it’s only exist in Instagram) with objective to coach and help young people in life, career preparation, and to unleash their own potential.

Jika kamu sekarang lagi galau dalam hidup, tidak tahu harus memulai karir dari mana, atau ingin mengembangkan potensimu, let me help you. Untuk memudahkan proses, silahkan daftar terlebih dahulu di bit.ly/sayadaftarcoaching. I am more than happy to being your partner to listen and solve the problem together with you.

See you in coaching session!

Salam damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca juga Short Story from IATSS Recruitment Process

Baca juga GKO: Youth Camp OMK St Clara

Baca juga Hikmah Kontroversi Arcandra: Indonesia Butuh Talent Pool?

Menikmati Ketidaktahuan

Jumat, 12 April hingga Minggu, 14 April yang lalu saya habiskan bersama 31 teman-teman baru yang tergabung dalam Professional Coaching Certification Program (PCCP) yang diselenggarakan oleh Coaching Indonesia. Training ini merupakan Approved Coaching Scientific Training Hours oleh International Coach Federation, organisasi coaching terbesar di dunia.

Dikutip dari Coaching Indonesia, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai “Hubungan kemitraan dengan individu melalui proses kreatif yang ditujukan untuk memaksimalkan potensi personal dan profesional dirinya”. Di dalam proses melakukan coaching, memang ada terdapat beberapa teknik yang perlu untuk dikuasai. Salah satu teknik yang saya suka adalah active listening.

Berbicara mengenai active listening, mengingatkan pelajaran yang saya dapat dari Keiko Tsubaki (NPO Global Network of Facilitators) selama program IATSS Forum di Jepang, periode September hingga November tahun lalu. Dan pada kesempatan di PCCP ini, saya memiliki kesempatan untuk mengasahnya kembali.

This slideshow requires JavaScript.

Mulai dari masuk kelas, saya mencoba untuk mengatur mindset saya untuk menjadi seorang Jon Snow – someone who knows nothing. Ketika sedang dalam percakapan dengan teman-teman, terlebih saat break (lunch atau pun coffee break), saya mencoba lebih banyak melontarkan pertanyaan kepada lawan bicara. Sebisa mungkin tidak membicarakan diri saya sendiri. Ketika latihan menjadi coach, sebisa mungkin saya tempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Hal tersebut saya coba lakukan dengan harapan saya mendapatkan pengetahuan baru yang selama ini saya tidak punya, sekaligus melatih kemampuan active listening itu sendiri.

Surprisingly, hal tersebut menyenangkan. Di dalam dunia ketidaktahuan, kita menjadi lebih open mind. Selama mendengar, saya lebih menyadari bahwa di dunia ini tak ada yang bisa untuk kita sombongkan. Teman-teman saya di program PCCP ini adalah orang-orang luar biasa. Para expert di bidangnya yang telah melakukan dan memiliki pencapaian-pencapaian luar biasa baik dari sisi personal, karir, maupun sosial. In other words, saya hanyalah butiran debu, atau hanyalah remahan kerupuk teman makan baso 😀

Selepas training memang kami mendapatkan sertifikasi Certified Professional Coach (CPC). Tetapi di luar itu, melatih untuk menikmati ketidaktahuan menjadi candu tersendiri bagi saya.

No coach ever stops learning. That’s what makes the great coaches great. They strive to learn more every day and they never stop asking questions. 
(Tom Crean, basketball coach)

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca Juga Short Story About IATSS Forum (part 8 – Final)

Baca Juga Hikmah Kontroversi Arcandra: Indonesia Butuh Talent Pool?

Baca Juga Memaknai Kebahagiaan di Kelas Inspirasi