Memberanikan Diri Menulis Buku

Awal tahun ini niatnya memang mau challenge diri sendiri untuk menulis buku. Sempat goyah karena merasa belum se-pinter itu untuk nulis. Hingga suatu waktu mampir ke Amazon, ngelihat banyak buku yang international best seller aja masih banyak yang ngehujat dan kasih bintang 1.

And then I realized.

Ini bukan perkara dinilai sama orang. Tetapi kembali pada niat menulis buku. Saya memantapkan diri berani menulis dengan niatan sebagai tabungan pahala. Sebagai penggugur dosa.

Yes, niatnya ya berbagi aja.

Setelah memantapkan diri, hal-hal baik terus datang. Topik dan judul buku muncul di tengah-tengah meeting sama Nadine Astari (bahkan dia sendiri yang nge-design cover bukunya!), bisa join kelas nulisnya Yoris Sebastian Nisiho plus dapat kesempatan mentoring personal sama mas Yoris, sampai ikut juga kelas nulis dengan teh Mia Marianne yang ngebantu sampai akhirnya bisa dapat ISBN.

So, jadilah buku Certified Hunger ini. Bukan, ini bukan tentang lapar makanan. Ini tentang menjadi pribadi yang selalu lapar untuk belajar.

Agar isi bukunya lebih berbobot, saya coba kombinasikan 3 hal di buku ini.

– Pengalaman sendiri yang 10+ years di bidang people development

– Buku, report dan jurnal-jurnal internasional

– Interview langsung dengan para HR dan business leaders yang memang pakar di bidang ini (yes, saya bahkan interview puluhan HR dan business leaders untuk dapat knowledge dan experience mereka! Thank you Pak Josef BataonaDudi ArisandiChristian SiboroIsdar MarwanAbdi Hamdani, CHRMTeguh Yoga Raksa Gema Buana Nikodemus Pudjoharsono Richy Wijaya W., Bu Soraya Candrasari Ita Farina Wardojo iRma eRinda Eva Hotnaidah Saragih dan masih banyak HR colleagues yang lain).

Buku ini (semoga) cocok buat kalian yang memang senang sama kegiatan belajar. Baik buat kalian yang sudah di level eksekutif, manajerial, tengah membangun karir, fresh graduate, atau bahkan mahasiswa/pelajar sekalipun.

Cocok buat dibaca sebagai pengembangan diri sendiri, atau bisa juga untuk dibagi ke teman, saudara, team members, atau karyawan (kalau kalian pengusaha).

Buat teman-teman yang mau pesan bukunya, sudah bisa pre-order mulai hari ini sampai 2 April nanti ke bit.ly/bukucertifiedhunger.

Semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal buat semua.

Happy reading!

Note: Untuk yang sudah pre-order akan dapat invitation ke sesi bedah bukunya hari Sabtu, 26 Maret nanti 🙂

Salam damai,
Ewaldo Amaral

Baca juga: Berkenalan dengan Advice Monster

Baca juga: Leaders Put the Emphasis on Intangible

Baca juga: Menikmati Ketidaktahuan

Being a Better Person

Siang kemarin dalam sebuah sesi coaching, coachee mengajukan pertanyaan “apa sih yang membuat kak Waldo mau melakukan sesi coaching gratis ini? Bukankah menjadi burden mendengar masalah-masalah setiap coachee?”

Saya mengambil nafas sebentar. Saya jawab dengan 2 jawaban.

  1. Untuk karir saya sekarang, saya dibantu oleh seorang mentor & coach bernama (alm) Bang Karol (BK).

    Dalam kegalauan menjadi mahasiswa jurusan akuntansi belasan tahun lalu, saya sempat curhat kepada BK. Harus saya akui saya adalah mahasiswa salah jurusan. Tapi, dia lah yang membuka mata saya terhadap dunia HR. Karena dia cukup kenal dekat dengan saya, dia bilang “Ada pekerjaan namanya HR. Kayaknya lo cocok di bidang training and development”.

    Sejak pertemuan itu, saya di-guide oleh BK untuk memiliki karir sebagai seorang HR. Dia yang menunjukkan materi dan pelatihan apa saja yang perlu saya ikuti untuk menjadi seorang HR professional.

    Saya percaya ada banyak orang muda di luar sana yang memiliki “kasus” seperti Waldo belasan tahun lalu. Tidak tahu mau kemana di masa depan. Tidak passion dengan jurusan kuliahnya, dsb. Saya ingin “pay it forward” kebaikan yang dilakukan Bang Karol kepada lebih banyak orang, agar tidak ada lagi waldo-waldo lain yang tersesat seperti saya belasan tahun lalu.

  2. Sebagai penggugur dosa. Ingin menjadi orang yang lebih baik lagi (better person).

    Alasan kedua saya adalah alasan klasik dan klise. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita adalah manusia yang memiliki banyak dosa. Kalau dalam laporan keuangan, mungkin saya sudah defisit karena terlalu banyak dosa. Pertanyaannya adalah apa yang saya dapat lakukan agar “laporan keuangan akhirat” saya bisa balance atau bahkan surplus? Maka mau tidak mau harus menambah pahala. Saya berharap dengan berbagi dan meng-coaching orang-orang muda ini, maka saya bisa menumpuk lebih banyak pahala sebagai penyeimbang dosa-dosa yang saya lakukan sebelumnya.

Selesai saya menutup sesi coaching, datang 1 WA dari seseorang yang meminta di-coaching juga. Ia bertanya “berapa harga untuk melakukan coachingnya?”. Saya tersentak. Tidak pernah mematok harga untuk sesi coaching. Tiba-tiba terbersit pikiran, “biayanya adalah berdonasi di kitabisa.com. Pilih kegiatan apapun yang mau disumbang. Berapapun sumbangannya saya tidak peduli dan tidak perlu juga memberikan bukti transfer sumbangannya. Saya percaya saja”. Yup, saya menemukan lagi another way untuk penggugur dosa.

Setiap orang suci punya masa lalu. Setiap pendosa punya masa depan. Who am I to judge?
(Unknown)

Salam Damai,
Ewaldo Amaral

Baca juga To Improve. Not to Prove

Baca juga What’s the Meaning of Challenge?

Baca juga Menikmati Kepahitan

5 Hal yang Saya Pelajari dari Belajar Melalui Online Courses

Di masa pandemi ini tidak terpungkiri bahwa aktifitas pembelajaran juga mulai pindah haluan dari offline menuju online. Salah satu yang menjadi trending adalah belajar melalui video courses di MOOC (Massive Open Online Course). Metode ini menjadi salah satu alternatif bagi pembelajar yang ingin terus meng-update ilmu tanpa harus bertatap muka dengan pengajarnya. Selain itu dikarenakan sifatnya yang fleksibel, kecepatan untuk menyelesaikan suatu modul ada di tangan para pembelajar masing-masing.

Akan tetapi di balik kemudahan dan fleksibelitasnya, terdapat juga hal-hal yang perlu kita perhatikan jika ingin belajar secara efektif dan efisien melalui metode tersebut – setidaknya dari pengalaman saya menjadi user di beberapa platform MOOC. Di bawah ini adalah 5 hal yang saya pelajari dari proses belajar saya melalui video courses di MOOC.

  1. Identifikasi apa yang benar-benar ingin kita pelajari

Sesuai dengan namanya, MOOC bersifat masif. Sarana pebelajaran tersedia begitu banyak, tanpa perlu diimbangi bertambahnya jumlah pengajar. Alhasil, ada banyak sekali jenis modul pembelajaran yang dapat diikuti. Dan surprisingly, banyak juga modul (yang dikemas dengan nama judul menarik) yang begitu mengugah untuk dipelajari.

Jika kita tidak mengidentifikasi apa materi yang benar-benar kita ingin pelajari, nantinya MOOC akan menyerupai online shopping. Kita mendaftarkan diri ke begitu banyak modul sehingga “shopping cart” akan menjadi penuh. Dampaknya? Berdasarkan pengalaman saya, kita akan kesusahan untuk menyelesaikan 1 modul karena tertarik untuk belajar modul lainnya.

So, bagaimana melakukan proses identifikasi ini? Yang saya lakukan adalah melihat kebutuhan saya sebagai seorang professional ataupun seorang individu. Saya melakukan self-assessment – skill apa yang harus saya miliki saat ini untuk menunjang karir professional dan/atau kehidupan pribadi saya. Pada akhirnya self-assessment ini akan berbentuk daftar yang panjang. Yang harus kita lakukan berikutnya melakukan sorting dengan memilih skill apa yang benar-benar urgent untuk dipelajari.

Hal positif yang kita dapat jika kita benar-benar melakukan identifikasi ini adalah kita akan belajar hal-hal yang relevan dengan kondisi kita saat ini. Hal tersebut juga mendorong motivasi kita untuk bisa menyelesaikan modul tersebut, karena seringkali tapi motivasi yang kuat, modul tersebut akan mandek di tengah jalan.

  1. Research the instructor

Setelah melakukan self-assessment, kita akan dihadapkan pada beberapa pilihan modul atau video courses untuk dipelajari. Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah cari tahu lebih detail mengenai pengajar di modul tersebut. Apa saja yang dicari? Apapun. Latar belakang pengajar, lulusan dari kampus mana, karir profesionalnya seperti apa, portfolio apa saja yang pernah Ia hasilkan, hingga feedback yang Ia dapatkan modul tersebut.

Biasanya saya akan menggunakan LinkedIn sebagai tool untuk melakukan research ini. Atau cara paling mudah, cukup ketik nama instruktur di google.

Untuk feedback di MOOC, saran saya jangan hanya melihat bintang/star dari modul tersebut. Tapi baca juga verbatim dari para pembelajar sebelumnya. Baca feedback yang benar-benar feedback. Kalimat feedback seperti “this course is great” atau “this is awesome” adalah jenis feedback yang saya abaikan. Saya akan fokus dengan jenis feedback yang membahas lebih dalam mengenai modul tersebut.

  1. Focus and diffuse mode

Berdasarkan Prof Barbara Oakley – professor of engineering at Oakland University in Rochester, Michigan, otak kita cukup kompleks, tetapi secara garis besar ada 2 mode otak, yaitu focus dan diffuse.

Focus adalah ketika kita mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga kita terhadap suatu hal. Sementara diffuse agak sedikit berkebalikan. Diffuse adalah mode di saat kita sedang rileks. Ketika kita sedang belajar, kita akan bolak-balik masuk dan keluar di 2 mode ini.

Ketika dalam posisi focus, otak kita berada dalam posisi “siap”. Hal-hal yang kita tahu dan pahami “berdering” kencang ketika kita sedang dalam posisi ini. Saya menganalogikannya seperti kita sedang fokus mengerjakan soal ujian. Ketika sedang fokus, otak kita menyampaikan sinyal dan hal-hal yang secara kuat sudah kita pelajari dan pahami, sehingga kita mampu menjawab soal-soal ujian tersebut.

Sementara mode diffused, otak kita cenderung dalam posisi relaks dan santai. Dalam posisi ini otak kita mengizinkan kita untuk melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda yang sebelumnya belum pernah kita pahami ataupun pelajari. Dalam kondisi ini kita cenderung untuk lebih kreatif sehingga hal-hal baru dapat lebih mudah dicerna.

Saran dari Prof Barbara, ketika kita belajar kita menggunakan 2 mode ini. Ketika sedang fokus belajar, kita cenderung berada di mode focus. Tetapi kita perlu break dan beralih ke mode diffuse untuk mengizinkan hal-hal yang baru dipelajari tersebut bisa ter-connect dengan pengetahuan-pengetahuan kita sebelumnya.

Oh ya, terkait dengan focus, kita juga perlu menyadari kapan waktu terbaik kita untuk belajar. Ada orang yang nyaman dengan belajar di pagi hari, tetapi ada juga yang nyaman belajar di malam hari.

  1. Take notes

Seperti layaknya belajar offline, berdasarkan pengalaman saya, ketika belajar melalui video kegiatan mencatat tetap perlu dilakukan. Sepanjang kita clear di poin #1, kegiatan mencatat akan menjadi hal yang menyenangkan. Catatlah poin-poin penting yang didapat dari video, lalu lakukan “test” dengan cara di bawah ini.

Menyambung apa yang telah dibahas di poin #3, ketika selesai dengan kondisi fokus, maka kita perlu pindah ke posisi diffuse untuk beberapa saat. Setelah itu ketika ingin kembali ke posisi fokus, gunakan catatan yang diambil tersebut sebagai “test”. Coba jabarkan poin-poin apa saja yang telah dipelajari ketika di posisi fokus sebelumnya tanpa melihat catatan.

  1. Share it to others

Setelah menyelesaikan suatu modul pembelajaran, selanjutnya adalah membagikan pengetahuan tersebut atau bahkan mengajari orang lain.

Ketika mengajari orang lain, mau tidak mau kita mengulang materi tersebut dan membuat summary dari apa yang telah kita pelajari. Dengan cara tersebut materi yang sudah kita pelajari akan lebih mudah melekat di otak.

Yup, itulah 5 poin pembelajaran yang saya dapat setelah menyelesaikan beberapa modul video courses di MOOC. Semoga artikel ini bermanfaat ya. Happy learning!

Salam Damai,
Ewaldo Amaral

Baca juga Tantangan Suksesi Para Startup

Baca juga Menikmati Ketidaktahuan

Baca juga Memaknai Kebahagiaan di Kelas Inspirasi

*sumber foto: here

Menikmati Ketidaktahuan

Jumat, 12 April hingga Minggu, 14 April yang lalu saya habiskan bersama 31 teman-teman baru yang tergabung dalam Professional Coaching Certification Program (PCCP) yang diselenggarakan oleh Coaching Indonesia. Training ini merupakan Approved Coaching Scientific Training Hours oleh International Coach Federation, organisasi coaching terbesar di dunia.

Dikutip dari Coaching Indonesia, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai “Hubungan kemitraan dengan individu melalui proses kreatif yang ditujukan untuk memaksimalkan potensi personal dan profesional dirinya”. Di dalam proses melakukan coaching, memang ada terdapat beberapa teknik yang perlu untuk dikuasai. Salah satu teknik yang saya suka adalah active listening.

Berbicara mengenai active listening, mengingatkan pelajaran yang saya dapat dari Keiko Tsubaki (NPO Global Network of Facilitators) selama program IATSS Forum di Jepang, periode September hingga November tahun lalu. Dan pada kesempatan di PCCP ini, saya memiliki kesempatan untuk mengasahnya kembali.

This slideshow requires JavaScript.

Mulai dari masuk kelas, saya mencoba untuk mengatur mindset saya untuk menjadi seorang Jon Snow – someone who knows nothing. Ketika sedang dalam percakapan dengan teman-teman, terlebih saat break (lunch atau pun coffee break), saya mencoba lebih banyak melontarkan pertanyaan kepada lawan bicara. Sebisa mungkin tidak membicarakan diri saya sendiri. Ketika latihan menjadi coach, sebisa mungkin saya tempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Hal tersebut saya coba lakukan dengan harapan saya mendapatkan pengetahuan baru yang selama ini saya tidak punya, sekaligus melatih kemampuan active listening itu sendiri.

Surprisingly, hal tersebut menyenangkan. Di dalam dunia ketidaktahuan, kita menjadi lebih open mind. Selama mendengar, saya lebih menyadari bahwa di dunia ini tak ada yang bisa untuk kita sombongkan. Teman-teman saya di program PCCP ini adalah orang-orang luar biasa. Para expert di bidangnya yang telah melakukan dan memiliki pencapaian-pencapaian luar biasa baik dari sisi personal, karir, maupun sosial. In other words, saya hanyalah butiran debu, atau hanyalah remahan kerupuk teman makan baso 😀

Selepas training memang kami mendapatkan sertifikasi Certified Professional Coach (CPC). Tetapi di luar itu, melatih untuk menikmati ketidaktahuan menjadi candu tersendiri bagi saya.

No coach ever stops learning. That’s what makes the great coaches great. They strive to learn more every day and they never stop asking questions. 
(Tom Crean, basketball coach)

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca Juga Short Story About IATSS Forum (part 8 – Final)

Baca Juga Hikmah Kontroversi Arcandra: Indonesia Butuh Talent Pool?

Baca Juga Memaknai Kebahagiaan di Kelas Inspirasi

#DoabagiBangsa

Di saat para capres dan caleg berlomba-lomba untuk menarik simpati dan suara rakyat, saya bersembunyi di dalam kamar. Kegaduhan dunia politik membuat saya memilih untuk berdiam, tak ikut serta dalam hiruk pikuk menyambut pesta demokrasi yang akan diselenggarakan 17 April mendatang.

Secara diam-diam, saya telusuri rekam jejak para paslon. Kemudahan teknologi membuat penelusan menjadi lebih mudah. Selain itu, masih juga tersedia buku, majalah, hingga koran.

Secara diam-diam, tak lupa saya panjatkan doa bagi Negara ini. Memohon agar sang Khalik memberikan yang terbaik bagi bangsa yang besar ini. Tidak main-main. Capres dan Caleg harus menyadari bahwa pekerjaan yang mereka dambakan adalah pekerjaan yang besar dan cenderung tidak mudah. Sang pemimpin yang akan terpilih adalah pemimpin lebih dari 250 juta penduduk. Pemimpin dari 17,000 pulau. Pemimpin lebih dari 1,300 kelompok suku bangsa. Pemimpin dari Pemimpin sebuah Negara dengan sejarah yang panjang. Ini berat.

Saya menghela nafas, melanjutkan doa. Semoga pemimpin yang nanti terpilih adalah pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab serta mendahulukan kepentingan Negara dibandingkan kepentingan golongan tertentu. Seorang pemimpin yang mampu berjalan bersama rakyat di tengah kubangan sawah, di beceknya jalanan, ataupun di tengah guyuran huja dan mampu menjadi role model bagi rakyatnya.

Saya berdoa agar pemimpin yang terpilih nanti adalah pemimpin yang mampu berpikir besar, membawa Indonesia semakin maju dari sisi ekonomi, pendidikan, hingga teknologi. Seorang pemimpin yang mampu membuat Garuda terbang tinggi. Amin.

Mari selipkan #DoabagiBangsa di setiap doa-doamu. Sampaikan doamu juga di sini (code: 256305) sebagai inspirasi bagi orang lain.

“This country, the Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and traditions, but the property of all of us from Sabang to Merauke!”
(Soekarno)

Salam Damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca Juga Hikmah Kontroversi Arcandra: Indonesia Butuh Talent Pool?

Baca Juga Short Story About IATSS Forum (part 8 – Final)

Baca Juga Mau Sampai Kapan Uji Coba Sistem Pendidikan?

 

Memaknai Kebahagiaan di Kelas Inspirasi

4 Februari yang lalu, bersama 12 relawan lainnya, saya tergabung dalam kelompok 11 di Kelas Inspirasi (KI) Bekasi #5. Ini merupakan kali kedua bagi saya bergabung di komunitas ini (cerita KI sebelumnya klik di sini). Menimbang masalah waktu dan jarak, KI Bekasi lah yang sejauh ini cocok dengan saya. Sebenarnya, tahun lalu mau bergabung juga di KI Jakarta, tapi sayangnya pelaksanaannya bersamaan dengan IATSS Forum. Mungkin tahun ini saya akan daftar KI Jakarta 😊

Kembali lagi di KI Bekasi #5, tugas kami (terlihat) sederhana. Misinya adalah memperkenalkan pekerjaan kami kepada murid-murid dari kelas 1 hingga kelas 6. Terlihat mudah? Ah, tidak juga 😀

Kelompok kami bertugas di SDN Lambangsari 02, Tambun Selatan, Jawa Barat. SD yang berlokasi daerah Kabupaten Bekasi ini memiliki 165 murid dan (hanya memiliki) 12 guru, terdiri dari 8 PNS dan sisanya honorer, loh! Melihat energi yang besar dari para murid, tak terbayang besarnya usaha para guru untuk tetap dapat mengajar dan menguasai kelas dengan baik.

Kalau di edisi KI Bekasi #4, saya kebagian mengajar di 4 kelas, di KI Bekasi #5 ini, saya kebagian mengajar di 5 kelas, dari kelas 2 sampai kelas 6. Ini dia foto-foto keceriaan para relawan bersama dengan para guru dan murid-murid:

This slideshow requires JavaScript.

Di KI Bekasi #5 kemarin, saya tak sendirian di depan kelas. Saya membawa seorang teman.

Kenalin, namanya Pingo🐧. Boneka pinguin ini bak primadona hampir sepanjang hari. Yang punya bonekanya bahkan kalah tenar 😅

Jauh-jauh ke Tambun dan melihat senyum lepas adik-adik di SDN Lambangsari 02 membuat Pingo sangat senang. Hal tersebut mengantar saya ke refleksi pribadi. Bukan mengenai kegiatan belajar mengajar, tetapi mengenai kebahagiaan. Siapa sih orang yang tidak mau bahagia?

Jika dihadapkan pada pertanyaan “apa kebahagiaan versi kamu?” atau “apa yang membuatmu bahagia?” maka apa jawabanmu?

Sudah barang pasti bahwa kita akan mengesampingkan jawaban berupa “materi, jabatan, ataupun kekuasaan”. Tetapi pada nyatanya, berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mengejar hal-hal tersebut?

Di KI Bekasi #5 ini, saya melakukan observasi terhadap para relawan. Mereka ini tidak dibayar, justru mereka mengeluarkan uang. Tak hanya itu, waktu dan energi juga terkuras (harus ambil cuti loh!). Anehnya, mereka HAPPY! Loh, udah ngeluarin uang, waktu, dan tenaga, tapi kok masih tetap bahagia?

Refleksi saya masih berlanjut. Pascakegiatan, diagendakan program ‘Back to School’. Hari di mana para relawan kembali ke sekolah tersebut untuk kembali menyapa guru dan murid-murid. Di samping itu, relawan juga ‘patungan’ untuk memberikan donasi berupa barang-barang yang sekiranya diperlukan di sekolah. Tuh! Udah harus ke sekolah yang notabene di Tambun yang jauh (oh iya, gak semua relawan tinggal di Bekasi loh), relawan-relawan ini juga harus mengeluarkan uang untuk patungan. Aneh bin ajaib!

Sekarang saya sedang mencerna pengalaman-pengalaman di atas. Waktu kita kerap kali habis dikarenakan mengejar materi. Kalau dapat, mungkin kita bahagia. Bagaimana kalau tidak?

Berkaca pada para relawan kece di KI Bekasi #5 ini, rasanya terlalu riskan menggantungkan kebahagiaan pada materi. Bagaimana kita menggunakan materi tersebut itu lah yang membuat kita dapat memaknai kebahagiaan secara holistik. Ya, seperti relawan-relawan di KI Bekasi #5, yang saya yakini memiliki mindset, bahwa kebahagiaan sejatinya didapat sepanjang kita masih berguna bagi orang lain. Kalau kamu, apa bahagia versimu?

“Pada akhirnya yang ditanyakan dan ditagih dari kita bukanlah seberapa banyak harta kekayaan yang kita punya, melainkan apa yang telah kita lakukan bagi sesama”

Selamat memaknai kebahagiaan!

Salam damai,
Ewaldo Reis Amaral

Baca Juga My First ‘Kelas Inspirasi’ Experience

Baca Juga Mau Sampai Kapan Uji Coba Sistem Pendidikan?

Baca Juga Hikmah Kontroversi Arcandra: Indonesia Butuh Talent Pool?